TAFSIR PADA MASA KODIFIKASI
Rina Konaya
Tafsir hadis 6A
Rina_muhaimin@yahoo.com
Abstrak
Al-Qur’an
adalah pedoman bagi umat manusia, sehingga harus di pelajari setiap isi
kandungannya. Tafsir merupakan cara efektif untuk mengetahui isi kandungan
dalam tiap-tiap ayat al-Qur’an. Tafsir sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad saw,
namun belum di bukukan. Tafsir belum menjadi disiplin ilmu tersendiri melainkan
masih di gabung dengan kitab hadis. Kemudian pada permulaan zaman dinasti
Abbasyiah ulama merasa perlu membukukan tafsir mengingat pentingnya ilmu
tersebut dan semakin jauhnya dengan masa
Rasulullah saw. Akhirnya tafsir telah terpisah menjadi disiplin ilmu
tersendiri, yang mulanya menjadi bagian dari kitab hadis. Oleh karenya di
rumuskan masalah bagaimana tafsir pada masa kodifikasi atau pembukuan.
Kata
kunci. Tafsir, kodifikasi, kitab hadis, ilmu.
I.
Pendahuluan
A.
Latar Belakang
Pada permulaan abad hijriah banyak pemeluk Islam yang bukan dari
bangsa Arab dan bahasa Arab telah di pengaruhi bahasa ajam, oleh karenanya para
ulama merasa perlu untuk membukukan tafsir agar dapat di ketahui maknanya oleh
masyarakat yang tidak mempunyai saliqah bahasa Arab lagi. Dan pada
permulaan zaman Abbasyiah, barulah para ulama mengumpulkan hadits-hadits tafsir
yang di terima dari sahabat dan tabi’in. mereka menyusun tafsir dengan cara
menyebutkan ayat, kemudian menyebut nukilan-nukilan tafsir ayat tersebut dari
sahabat dan tabi’in. [1]
Pada awalnya tafsir merupakan disiplin ilmu yang masih di gabung
dengan hadits, tidak ada tulisan khusus tentang tafsir baik persurat maupun
perayat. namun pada fase selanjutnya tafsir telah terpisah dari hadits dan
menjadi disiplin ilmu tersendiri. Setiap ayat Al-Qur’an di tafsiri sesuai
urutan dalam mushaf. Hal ini selesai di tangan Ibnu Majah, Ibnu Jarir
at-Thabari, Abu Bakar al-Mundzir an-Nasaiburi, Ibn Abi Hatim, Abusy-Syekh Ibnu
Hibbanm Al-Hakim, Abu Bakar bin Mardawaih.[2]
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat
di rumuskan masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana
definisi tafsir bil ma’tsur?
2. Bagaimana
tafsir pada masa kodifikasi?
C. Tujuan
Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas makalah ini
bertujuan sebagai berikut.
Agar mahasiswa mengetahui tafsir bil ma’sur
serta perkembangan tafsir pada masa kodifikasi.
II.
Pembahasan
A.
Landasan teori
Ahmad
Amin mendukung pendapat bahwa orang yang mula-mula menulis al-Qur‟an secara
lengkap adalah al-Farra‟ (w. 207 H). Pendapat ini didasarkan atas laporan Ibnu
al-Nadim didalam kitab al-Fihrist bahwa al-Farra‟ telah menafsirkan seluruh isi
kitab.
Tafsir
di bubukan pada permulaaan abad ke dua hijriah, tepatnya di permulaan zaman
abbasyiah. Ini di jelaskan dalam buku sejarah dan pengantar ilmu al-Qur’an dan
tafsir karya Hasbi ash-ashiddieqqy.
Dalam
buku ilmu al-Qur’an karya Khalil manna al-Qathan di jelaskan pada permulaan
zaman abbasyiah, hadis menjadi prioritas utama dan pembukuannya meliputi
berbagai bab, sedangkan tafsir hanya merupakan salah satu bab dalam sekian banyak
bab yang di cakupnya. Tokoh tafsir pada saat itu ialah Yazid bin Harun
as-Sulami, Su’bah bin al-Hajaj, Waki’ bin jarrah, Sufyan bin ‘Uyainah, dan
sebagainya. Namun tafsir golongan ini tidak sampai pada kita, yang kita terima
hanyalah nukilan-nukilan yang di nisbatkan kepada mereka sebagaimana yang
termuat dalam tafsir bil ma’tsur.
Setiap
ayat dalam al-Qur’an di tafsir sesuai urutan dalam mushaf. Pekerjan ini selesai
di tangan para ulama di antaranya ialah Ibnu Majah, Ibn Jarir ath-Thabari, Abu
Bakar al-Mundzir an-Naisaburi, Ibnu Abi
Hatim, dan sebagainya. Hal ini termaktub dalam buku Ensiklopedia tafsir karya
Muhammad Husein adz-Dzahabi, buku in ini merupakan terjemah dari kitab tafsir al-Mufashirun
.
Dapat
di tarik kesimpulan bahwa tafsir di bukukn pada zaman abbasyiah, pembukuan ini
di lakukan karena kekhawatiran Umar bin Abdul aziz aka ada pemalsuan hadis.
Adapun orang yang pertama menulis kitab tafsir ialah al-Farra.
B.
Tafsir bil ma’tsur
Tafsir bil ma’tsur ialah tafsir Al-Qur’an
yang di jelaskan oleh ayat al-Qur’an, Qur’an oleh riwayat (penjelas) Rasulullah
SAW, sahabat, tabi’in. Tafsir bil ma’tsur mengalami perkembangan pada dua fase,
yaitu fase periwayatan dan penulisan. Pada fase periwayatan, Rasululullah SAW
menjelaskan pada sahabat makna Al-Qur’an yang sulit di pahami, lalu di
ambil oleh mereka dengan saling
meriwayatkannya satu sama lain, kemudian di riwayatkan (di sampaikan) kepada
generasi berikutnya (Tabi’in). di kalangan sahabat ada yang menafsirkan
Al-Qur’an dengan riwayat yang di ambil dari Rasulullah SAW, dan ada pula dengan
pendapat atau ijtihadnya, namun yang ini jarang di lakukan karena kehati-hatian
dalam beragama, luhurnya akal fikiran dan terbatasnya kebutuhan aplikatif dalam
hidup mereka.
Di
antara tabi’in ada yang meriwayatkan riwayat dan keterangan dari Rasulullah SAW
yang mereka dapatkan dari sahabat, lalu mereka menambahkannya dengan ijtihad
sesuai dengan bertambahnya hal-hal yang sulit di pahami seiring bertambah
jauhnya umat manusia dari masa Rasulullah SAW.
C.
Tafsir pada masa kodifikasi
Pelacakan sejarah tafsir al-Qur'an
tidak bisa dilepaskan dari sejarah kodifikasi hadits Nabi. Karena
sebagaimana diketahui, pada tahap awal penyusunan tafsir masih bercampur- baur
dengan kodifikasi hadits. Sejarah kodifikasi tafsir bermula dari kekhawatiran
Umar ibn Abdul Aziz, khalifah Bani Umayah ke-8, akan timbulnya pemalsuan dan
punahnya hadits Nabi. Kekhawatiran tersebut berlanjut dengan pengiriman surat
perintah sang khalifah kepada seluruh pejabat dan ulama berbagai wilayah pada akhir
tahun 100 H. Isi surat perintah tersebut adalah agar seluruh hadits Nabi yang
ada di wilayah tersebut dihimpun. Surat perintah tersebut menjadi dasar hukum
bagi upaya kodifikasi hadits Nabi hampir diseluruh wilayah Islam.
Kurangnya tingkat selektifitas dalam
kegiatan kodifikasi hadits Nabi agaknya memberi celah bagi munculnya embrio
kodifikasi tafsir al-Qur'an. Para ulama ahli hadits yang mengembara ke berbagai
wilayah untuk mencari, mengumpulkan, dan mengkodifikasikan hadits Nabi pada
akhirnya memasukkan produk-produk penafsiran al-Qur'an ke dalam kitab hadits
mereka. Produk-produk penafsiran al-Qur'an yang dinisbakan kepada Rasulullah,
sahabat dan tabiin tersebut biasanya masuk ke dalam satu bab tersendiri dalam
kitab hadits tersebut. Sehingga dikatakan pada masa ini kegiatan membukukan
tafsir belum mandiri, karena masihnumpang dalam kitab-kitab hadits.[3]
Sampai masa pengkodifikasian tafsir
belum di tulis secara sistematis dalam kitab khusus, melainkan masuk dalam
salah satu bab di kitab-kitab hadits.[4]
Dan mula-mula ayat tersebut tidak di tafsirkan berdasarkan tertib mushaf
. kemudian barulah tafsir di bukukan pada awal zaman dinasti Abbasyiah. Dalam masa
tersebut tafsir benar-benar terpisah dari kitab hadits. Serta tafsir tiap-tiap
ayat tersusun sesuai tertib mushaf. Adapun tokoh tafsir pada masa
tersebut diantaranya ialah Yazib bin Harun as-Sulami wafat pada tahun 117 H,
Syu’bah bin al-Hajjaj wafat pada tahun 160 H, Waki’ bin Jarrah wafat pada tahun
197 H, Sufyan bin ‘Uyainah wafat pada tahun 198 H, dan sebagainya. Tafsir
golongan ini tidak ada sedikitpun yang sampai kepada kita, yang kita terima
hanyalah nukilan-nukilan yang nisbatkan kepada mereka sebagaimana yang termuat
dalam tafsir-tafsir bil ma’tsur.[5] menurut
pemeriksaan Ibn an-Nadim, hanya al-farra’ yang pertama menafsirkan ayat demi
ayat sesuai tertib mushaf yang di
lakukan atas permintaan Umar bin Bakir. Al-Farra’ mendiktekan tafsirnya kepada
murid-murid dalam masjid pada tiap-tiap jum’at.[6]
Kitab tafsir yang pertama kali ialah lembaran-lembaran
yang di riwayatkan oleh Ali bin Abi Thalhah dari ibn Abbas. Kemudian ada
sejumlah ulama yang membukukan tafsir bil ma’tsur tanpa menyebutkan sanad.
Banyak ulama yang mengutip tanpa menyeleksi mana yang shahih dan mana yang
dho’if. Setelah fase ini, pembukuan tafsir tidak hanya terbatas pada tafsir bil
ma’tsur tetapi juga dengan tafsir bi ra’yi. [7]
Tafsir bil ma’tsur merupakan kelanjutan
dari tafsir-tafsir sebelumnya yang di isnadkan kepada para sahabat Nabi, kaum
tabi’in dan tabi’it tabi’in. tafsir bil ma’tsur yang terbaik ialah tafsir ibnu
jarir at-Thabari dalam jami’ul bayan fi tafsiril-Qur’an karena memiliki
keistimewaan dalam mengetengahkan penafsiran para sahabat dan kaum tabi’in
selalu di sertai dengan sanad. [8
I.
III.
Simpulan
I.
Pengkodifikasian kitab tafsir bermula dai kekhawatiran kahalifah
Umar bin Abdul Aziz akan adanya pemalsuan hadis. tafsir mulai terpisah dari
hadits dan menjadi disiplin ilmu tersendiri terjadi pada zaman Abbasyiah. Dan kitab tafsir yang
pertama kali ialah lembaran-lembaran yang di riwayatkan oleh Ali bin Abi
Thalhah dari ibn Abbas. Menurut an-Nadim, al-Farra’ ialah seorang yang pertama
kali menafsirkan ayat al-Qur’an sesuai mushaf.
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shiddiqi, Hasbi. sejarah dan pengantar ilmu al-Qur’an dan
tafsir, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009.
As-Shalih, Subhi. Membahas
ilmu-ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996.
Husein ad-Dzahabi, Muhammad, Ensiklopedi Tafsir, Jakarta:
Kalam Mulia, 2009.
Khalil al-Qathan, Manna, Studi ilmu-ilmu al-Qur’an, Bogor:Litera
antarnusa,2009.
Sejarah Tafsir pdf.pdf-Adobe Reader
[1] Hasbi Ash-Shiddiqi, sejarah dan pengantar
ilmu al-Qur’an dan tafsir, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), cet.2,
hlm.190.
[2]
Muhammad husein ad-Dzahabi, Ensiklopedi Tafsir, (Jakarta: Kalam Mulia,
2009), jild.1, hlm.136.
[3] Sejarah
tafsir pdf.pdf-Adobe Reader
[4]Ibid.
Muhammad Husein adz-Dzahabi, Ensiklopedi Tafsir, hal.145-146
[5]
Manna khalil al-Qathan, Studi ilmu-ilmu al-Qur’an, (Bogor:Litera
antarnusa,2009), hlm.476-477.
[6]Ibid.
Hasbi Ash-Shiddiqi, sejarah dan
pengantar ilmu al-Qur’an dan tafsir, hlm.195
[7] Ibid.
Muhammad husein ad-Dzahabi, Ensiklopedi Tafsir, hlm.145-149.
[8]
Subhi As-Shalih, Membahas ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1996), cet.6, hlm.385.